Baligrafi: Berkreasi dari Aksara ke Seni Visual

Aksara merupakan sebuah bentuk konkrit sebuah bahasa. Aksara sendiri menjadi sebuah simbol atau lambang yang mengejawantahkan bentuk abstrak sebuah bahasa. Menurut Ratna (2005: 132) aksara adalah sistem tanda-tanda grafis yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi, dan sedikitnya mewakili ujaran. Perkembangan teknologi memang menjadi salah satu parameter tingkat peradaban suatu bangsa, akan tetapi para ahli sejarah sepakat bahwa yang menjadi indikator utama transisi dari masa prasejarah menuju masa sejarah adalah dengan ditemukannya aksara atau tulisan. Evolusi kehidupan manusia dari masa prasejarah menuju masa sejarah ditandai dengan kemampuan manusia untuk menuliskan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya dengan aksara. Aksara dengan demikian mengakhiri zaman prasejarah. Untuk itulah aksara menjadi media paling baik untuk mendokumentasikan segala peristiwa, ketimbang arca atau patung. Ratna (2005: 135) menyatakan aksara menandai dimulainya peradaban manusia yang paling tinggi, sebab (a) aksara memiliki kemampuan yang tidak terbatas untuk memindahkan akal dan pikiran manusia ke dalam bentuk lambang, (b) melalui aksara manusia dapat berkomunikasi secara sempurna dalam pengertian tidak perlu melalui tatap muka, tidak memerlukan komunikasi secara langsung, dan dengan sendirinya tidak terikat ruang dan waktu, (c) aksara dapat mewariskan peradaban manusia pada generasi berikutnya, (d) untuk menyebarluaskannya aksara dapat ditranskripsikan (dialihaksarakan), dan (e) aksara sangat mudah disesuaikan dengan teknologi.

Akal budi merupakan mahkota manusia, bahasa mahkotanya sastra, sedangkan aksara adalah mahkota budaya (aksara makuta mandita). Sebab itulah aksara menjadi media paling tepat untuk mendokumentasikan kebudayaan. Fungsi dokumentasi menjadi hakikat utama aksara Bali, yang menjadikannya mampu mentransformasikan aksara (huruf/suku kata) menuju ke a-ksara (tidak termusnahkan/kekal). Hal inilah yang menyebabkan aksara Bali menempati kedudukan dan fungsi yang istimewa dalam masyarakat Bali. Kedudukan dan fungsi tersebut selalu mengalami dinamika, seirama dengan perubahan nilai-nilai dan perkembangan kebudayaan yang dianut masyarakatnya. Salah satu dinamika yang berkembang dalam aksara bali adalah munculnya kaligrafi aksara Bali.

Kaligrafi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang secara etimologi berasal dari dua kata yaitu kallos ’indah’, dan graphein ‘tulisan’, jadi kaligrafi berarti sebuah bentuk tulisan yang dibuat seindah mungkin. Kaligrafi selama ini sangat identik dengan nuansa Islami, karena memang seni kaligrafi lebih banyak berkembang di ranah Islami dan dekat dengan budaya Arab. Sesungguhnya kaligrafi sendiri juga banyak berkembang di Negara Cina, Jepang, Amerika, juga di beberapa Negara di benua Eropa. Di Jepang sendiri istilah kaligrafi juga biasa disebut dengan Nihongo (menulis dengan indah). Sementara di Bali, istilah tersendiri yang digunakan untuk menyebutkan kaligrafi aksara Bali belum ada. Memang dalam beberapa pertemuan-pertemuan sempat tercetus ide untuk memberikan nama, namun akhirnya tidak pernah muncul kesepakatan untuk hal itu. Pada tangggal 1 Juli 2013 bertempat di Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa berkumpul panitia dan panitia pengarah International Balinese Festival. International Balinese Festival merupakan sebuah festival bahasa Bali tingkat internasional yang diprakarsai oleh Nyoman Gunarsa. Pada pertemuan itu hadir beberapa tokoh diantaranya Nyoman Gunarsa (pelukis, penggagas festival), I Nengah Medera (ahli Sastra Jawa Kuna) I Nyoman Darma Putra (budayawan), I Made Sujana (IHDN Denpasar), Gde Nala Antara ( Ketua Badan Pembina Bahasa Bali, juga dosen sastra UNUD), A. A. Temaja (seniman drama gong dan dalang), Wayan Madra Aryasa (seniman dan budayawan), Ida Rsi Agung Wayadya Suprabhu Sogata Karang (budayawan), dan I Gede Gita Purnama (Aliansi Peduli Bahasa Bali). Dalam perbincangan pagi itu mencoba merumuskan sebuah nama untuk kaligrafi aksara Bali. Muncul kemudian masukan nama-nama diantaranya Ngreka aksara, Aksara Reka, Aksara Yantra, Modre, Rerajahan, dan Baligrafi. Usulan nama trakhir datang dari Nyoman Darma Putra, dan kemudian disepakati oleh forum kecil itu untuk menggunakan nama “Baligrafi” (merangkai aksara dalam bentuk visual art, yang sudah barang tentu indah) untuk identitas kaligrafi aksara Bali.

Beberapa pertimbangan yang menjadi alasan kenapa nama Baligrafi dipilih adalah kata Baligrafi dianggap mampu mengakomodir pengertian tentang memvisual-artkan aksara Bali. Baligrafi dirasa dekat dengan nama kaligrafi, namun menghadirkan nuansa yang berbeda, jika kaligrafi pandangan umum akan mengasosiasikan dengan unsur Islami, sementara Baligrafi diharapkan mampu menghadirkan asosiasi yang nuansa Bali. Bali merupakan sebuah nama yang telah menjadi brand yang sangat terkenal, sehinggga diharapkan dengan menggunakan istilah Baligrafi akan lebih mudah untuk mempopuler dan memasyarakat.

Jauh sebelum istilah kaligrafi (selanjutnya akan disebut Baligrafi) dikenal di Bali, sebelumnya telah dikenal istilah rerajahan dan modre dalam masyarakat Bali. Namun dalam hal ini jelas terdapat perbedaan, baik dari fungsi maupun nilai rerajahan dan modre dengan Baligrafi. Rerajahan merupakan sebuah kombinasi antara gambar dan aksara yang dituliskan di atas media tertentu, dan mengandung unsur magis. Aksara yang digunakan untuk menulis rerajahan (nyurat rerajahan) dikenal dengan aksara modre. Dalam pengertian yang dijelaskan oleh Medera (1994), bahwa Modre merupakan sebagai salah satu bagian dari aksara suci yang memiliki kekuatan magis. Aksara ini dipergunakan dalam bidang keagamaan, khususnya dalam hal doa-doa, filsafat, dan pengobatan tradisional. Aksara modre dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksara modre dan aksara wijaksara. Aksara wijaksara lebih banyak dipergunakan dalam upakara-upakara keagamaan yang berkaitan dengan filsafat hidup mikrokosmos dan makrokosmos. Aksara wijaksara di antaranya adalah ekaksara, dwi aksara, triaksara, pancaksara, dasaksara, dan catur dasaksara.

Dalam proses membuat rerajahan terdapat pakem dan batasan-batasan, serta gambar dan aksara yang digunakan tidak boleh sembarangan (aksara Modre). Pembuatan rerajahan pun harus memperhitungkan hari baik (dewasa ayu) karena akan melalui proses ‘menghidupkan’ rerajahan tersebut (ngurip rajah) melalui upacara pasupati. Itulah mengapa rerajahan lebih bersifat sakral, religius, juga mengandung unsur magis.

Hal tersebut tentu berbeda dengan Baligrafi. Baligrafi sendiri merupakan sebuah hasil kreasi aksara Bali dengan bentuk dan pola tertentu yang mampu memunculkan nilai estetis. Tidak ada batasan yang mengekang seniman Baligrafi untuk berkreasi dengan aksara Bali, tidak ada pula proses ‘menghidupkan’ Baligrafi, karena ini murni sebagai sebuah karya seni. Boleh dibilang bahwa Baligrafi lebih bersifat profan, juga lebih bersifat fleksibel. Sehingga Baligrafi dapat diapresiasi oleh siapapun, mulai dari anak-anak hinga orang tua, tergantung kemampuan artistik setiap orang. Baligrafi juga dapat dinikmati, dikreasikan dimanapun dan kapanpun, tanpa harus menunggu hari baik (dewasa ayu) karena Baligrafi tidak berkaitan dengan kegiatan religius.

Boleh jadi Baligrafi nantinya akan menjadi salah satu tren yang mampu menggairahkan lagi kecintaan masyarakat Bali terhadap aksaranya. Memang ini bukan sebuah inovasi baru, hanya saja pelabelan baru. Tentu nama Baligrafi yang belum seumur jagung ini akan mendapatkan banyak respon kedepannya, entah positif maupun negatif. Tapi apapun itu nanti, ini patut dicatat sebagai salah satu upaya serius untuk mengembangkan, meningkatkan, juga menjaga kekayaan intelektual manusia Bali yang telah terwariskan beratus-ratus generasi. Aksara Bali sebagai mahkota budaya Bali memang membutuhkan inovasi, karena apapun tanpa inovasi perlahan dengan pasti akan mati. Jika aksara Bali mati, maka Bali pun akan mengikuti jejak Majapahit. Sirna Ilang Kerthaning Bhumi,,

 i gede gita purnama 

ImageImage